Skip to main content
Insomnia Notes

follow us

Antara Zaman Hoax dan Syahwat Berkomentar

Syahwat, apa itu syahwat? Sejenis benda serupa temali yang terbuat dari logam dan dapat menghantar listrik? Bukan, Itu mah kawat!

Cobalah tanya secara random pada beberapa orang dari tiga tingkat usia, yaitu anak-anak, remaja, dan dewasa, coba tanyakan apa itu syahwat. Apa kira-kira jawabannya? Adalah lazim jika kita jumpai jawaban dari pertanyaan tersebut adalah; nafsu seks, birahi! Ya, setidaknya 7-8 dari 10 orang yang ditanya akan menjawab demikian.

Lha, kan itu tidak salah? Toh di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pun disebut bahwa syahwat adalah; syahwat/syah·wat/ n adalah nafsu atau keinginan bersetubuh; keberahian. Secara online, pengertian syahwat dari KBBI tersebut bisa dicek di alamat ini http://kbbi.web.id/syahwat .

Maka tak heran, karenanya, banyak orang yang mengkonotasikan bahwa syahwat itu melulu adalah soal urusan seks. Sampai orang suka malu jika misal dibilang; besar syahwatnya.

Padahal mah ya, kalau kita mau renungi, syahwat itu tak melulu ngurusi soal yang begituan lho. Karena ia adalah salah satu subsistem (yang kompleks) dari sistem kejiwaan yang ada pada diri manusia, dimana ia bergandengan dengan akal dan hati nuraeni, eh, nurani. Adalah nafsu seksual merupakan bagian dari syahwat, tentu itu benar adanya, tapi jika ada yang mengatakan bahwa syahwat adalah hanya nafsu seksual, itu bisa kita koreksi.

Berdasar dari bahasa awalnya, syahwat berasal dari bahasa Arab yaitu syahiya-syaha yasyha – syahwatan, yang mudahnya berarti menyukai dan menyenangi. Singkatnya, dapat kita generalisasikan bahwa syahwat adalah keinginan dan kecenderungan, yang tentunya bisa melingkupi apa saja. Misal; mereka yang gembul/suka makan, berarti syahwat makannya besar, kan? Dia menyenangi makan, cenderung untuk makan terus.

Senada dengan Sigmund Freud yang menyatakan bahwa syahwat adalah penggerak “driving force” dari segala dinamika kehidupan di dunia, kita pahami bahwa syahwat adalah fitrah manusia, karenanyalah kita bisa bertahan hidup. Tentu, yang kita perlukan adalah memanagenya, karena jika tidak, ia akan bersifat destruktif, menghancurkan.

Dan seperti yang digarisbawahi di atas, berhubung syahwat ini melingkupi apa saja yang bisa memantik keinginan dan kecenderungan, maka kali ini saya ingin menulis suatu syahwat yang mungkin, sangat jarang disinggung, syahwat share dan shyahwat berkomentar! Ya, syahwat share dan berkomentar, entahlah, saya asal saja memadu padankan katanya, karena itu dirasa cocok untuk zaman hoax seperti sekarang ini.

Jangan asal share berita, hoax mengintaimu. Image by jalantikus.com

Syahwat jenis ini, sebetulnya bukan hal baru dan selamanya akan terus ada sepanjang zaman. Sedari zaman Sangkuriang nyentil hidung Hercules, bergeser ke zaman Superman pakai CD nangkring merah marun, bahkan sampai nanti zaman Gundala Putra Petir gabung Akatsuki pun, syahwat berkomentar, membagikan berita, sampai syahwat menebar hoax pun akan akan tetap ada.

Hanya saja, kalau dulu syahwat jenis ini kurang terasa, sekarang justru kentara sekali kehadirannya, dimana kita lebih leluasa untuk mengekspresikannya, utamanya sejak boomingnya media sosial. Betul tidak? Betul we atuhlah biar kita bisa lanjut ngelanturnya.

Contoh, jika dulu kita hanya bisa mencak-mencak depan TV saat jadi komentator bola, jika dulu suporter bola hanya bisa berteriak “Wasit G**B***” sebatas di tribun penonton, jika dulu ibu-ibu hanya bisa ngerumpi bergosip/ghibah dalam lingkup tetanggan yang terbatas, sekarang, di zaman media sosial, semua kata-kata yang terlontar pada moment tersebut bisa menerabas ruang dan waktu! Benar begitu, bukan?

Sekarang mah, jangankan berkata, kita cuma merenungi sesuatu pun orang lain bisa tahu! Canggih pan? Sekelas jin saja belum tentu bisa. Misal, Teteh A yang tinggal di Sunderland berpikir sesuatu ketika melihat foto profil admin blog ini; “Duh, Aa admin blog Insomnia Notes ini ganteng sekali deh,”, dan seketika itu pula, mereka yang tinggal di Sudiplak, Sudimampir, dan sudi-sudi yang beratus ribu kilometer jauhnya dari Sunderland bisa mengetahui apa yang dipikirkan si Teteh A tersebut, dengan catatan, si Teteh menuliskan apa yang dipikirnya, dalam akun media sosialnya.

Karenanya, duh, ini teh harus dijaga sekali! Jangan sampai lalai kita.

Zaman media sosial, plus zaman hoax, mungkin, bisa dibilang adalah zaman dimana syahwat berkomentar atau syahwat cuap-cuap kita benar-benar sedang diuji. Ya, karena di sana, di media sosial, kita merasa aman untuk mengomentari berbagai hal, apa saja bisa kita komentari, apa saja bisa kita bagikan. Ada kabar ini, kita ingin ikut komentari, ada kabar itu, kita ingin ikut komentari, ada kecenderungan, ada kesenangan di situ.

Dan bagi kita “rakyat Indonesia”, saya beri kutip itu rakyat Indonesia, ujian paling berat tuk menahan syahwat berkomentar dan share berita di media sosial ini setidaknya sudah terjadi dua kali, tahu kan peristiwa apa saja itu? pasti tahulah, yang terbaru bahkan masih anget-anget tahi ayam.

Yang sejenis itu jadi moment-moment paling hot, paling menggoda bagi kita warga negara untuk ikut berkomentar, wajar, karena kita merasa ikut memiliki negeri ini.

Selama punya basic keilmuan yang sesuai, tak mengapa ikut mengemukakan pendapat dan berkomentar di media sosial, bahkan mungkin harus (hitung-hitung bagi-bagi ilmu), karena yang seperti ini lompatnya nanti biasanya adu argumennya jadi diskusi, adem. Sebutlah ini tipe orang yang pertama.

Tapi jika tidak punya basic keilmuan yang cukup, ah, lebih baik mundurlah, apalagi kalau cuap-cuap hanya bermodal teori dan data dari portal-portal online. Sebutlah ini orang tipe kedua, yang berani berkomentar dengan hanya mencomot segala sesuatunya dari medsos. Yang model kedua ini, biasanya yang suka merasa benar sendiri dimana komentar dan share berita selalu diisi dengan nafsu, tendensius, terlihat sekali syahwatnya. Tak sadar ia telah terjerumus dalam permainan tingkat tinggi.

Ini bukan negeri dimana hak bersuara benar-benar dibatasi, jadi kita boleh-boleh saja umbar syahwat mau komentar kesana-kemari, tapi ya sudah banyak juga bukti, banyak mereka yang ditangkapi karena tak bisa menjaga apa yang ada di balik gigi. Tentu tak akan jadi masalah, jika kita komentarnya netral-netral saja.

Apa sobat pernah berselisih dengan sanak saudara, teman, atau bahkan unfriend seorang teman di media sosial hanya karena sebuah perdebatan yang tak perlu? Jika pernah, berarti mungkin, sobat telah terjerumus dalam syahwat berkomentar, yang menghancurkan.
Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa terhindar dari syahwat jenis ini? Sebetulnya simpel saja;

1. Niat, tahan diri
Tentu, niat adalah yang paling utama dalam segala hal. Mari niatkan, untuk tidak sembarangan mengomentari atau membagikan suatu berita di media sosial. Mari menahan diri.

2. Cek dan ricek
Selanjutnya, jika kita memang sudah tak kuat lagi menahan diri dan ingin mengomentari atau membagikan berita tentang suatu hal, setidaknya cek dan riceklah dulu. Karena siapa tahu yang kita bagikan itu hoax! Kalau membagikan suatu berita bohong, kecipratan lho dosanya.
Ini perlu sekali, agar kita tidak terjerumus. Kita sudah mafhum, dewasa ini, sebuah kabar atau berita seringkali dibuat berdasarkan kepentingan suatu kelompok, hoax pun bisa masuk dalam lingkup ini. Tujuannya apa lagi kalau bukan penggiringan opini atau mengadu domba? Nah, di sini kita perlu cari tahu apakah kabar yang sudah kita baca benar adanya atau tidak. Janganlah percaya begitu saja pada satu dua sumber berita.

3. Netralkan hati, netralkan posisi, netralkan komentar
Ini jadi salah satu yang paling sulit. Ya, netralkan hati itu sulit sekali karena fitrahnya hati adalah memiliki kecenderungan, memihak. Tapi setidaknya tekanlah itu sebisa mungkin. Orang yang hatinya tak netral, yang hatinya sudah diisi penuh kecenderungan/pembelaan akan sesuatu, ia tak akan bisa lagi menerima kabar lain yang bertentangan dengan keinginannya. Semua tak akan masuk lagi ke dalam telinga dan hatinya. Ibarat gelas yang sudah penuh terisi air, kalau diisi air lagi kan malah jadi mbeleber.
Yang seperti ini cenderung akan selalu mencari pembenaran akan pilihan/keberpihakannya. Mari netralkan hati, netralkan posisi, kosongkan gelas.

Jika menetralkan hati dan posisi tidak memungkinkan, setidaknya netralkan lah komentar, baik dalam kolom komentar media sosial maupun share berita. Jangan berkomentar memojokkan, menyindir, nyinyir, mengejek, yang memperlihatkan keberpihakan kita pada suatu hal, karena itu akan memecah belah.

Jika kita keukeuh ingin share/berkomentar karena beranggapan apa yang kita sampaikan adalah sebuah kebenaran, percayalah kebenaran punya rambu-rambunya sendiri. Kebenaran tak akan memojokkan, kebenaran tak akan menyikut hati temannya sendiri. Sampaikan semua dalam damai dan penuh kelembutan.

4. Ukur diri
Ya, ukur diri, sebenarnya kita punya kompetensi tidak sih, untuk mengomentari hal itu (yang ingin dikomentari)? Bukan apa-apa, karena sekarang anak SD pun bisa “mengkuliahi” seorang profesor dalam komentarnya di media sosial. Dengan satu dua foto yang direka sedemikian rupa dan ditambah sedikit kata-kata, seperti sudah bisa mengalahkan karya ilmiah yang sudah disusun dengan susah payah.

***

Sebetulnya masih sangat banyak lagi yang bisa kita lakukan untuk menghindarkan diri dari syahwat share dan berkomentar. Tapi berhubung keburu pegel nulis, jadi cukup sekian dulu ya. Pun dari cuap-cuap tak jelas di atas, silahkan ambil yang baiknya dan buang yang buruknya, semoga bermanfaat.

***

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”(QS.Al Hujurat : 6)

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar